Pages

Monday 28 January 2013

1st Indian Novel I've Ever Read




Judul     : The Conch Bearer (Keong Ajaib)
Penulis  : Chitra Banerjee Divakaruni
Tebal    : 272 halaman


    Hidup terasa sangat berat bagi Anand, seorang anak laki-laki yang tinggal di Kolkatta, India. Ayahnya berhenti mengirim kabar dan uang dari luar negeri, ibunya kehabisan uang dan jatuh miskin, bahkan adik perempuannya, Meera, mengalami nasib sial yang membuatnya kehilangan akal. Namun di tengah nasib buruk yang menimpa, Anand tetap memiliki hati yang baik. inilah yang  membuat Abadhyatta datang dan meminta bantuan Anand untuk mengembalikan Keong Ajaib ke tempat asalnya. Abhaydatta adalah anggota kumpulan penyembuh bernama Persaudaraan yang tinggal di Lembah Perak di kaki Gunung Himalaya. sedangkan Keong Ajaib adalah benda keramat milik Persaudaraan yang sempat dicuri oleh Surabhanu, mantan anggota Persaudaraan yang berkhianat.

     Walaupun berat harus meninggalkan ibu dan Meera, akhirnya Anand memutuskan untuk pergi bersama Abhaydatta dan Keong Ajaib. Petualangan menuju Lembah Perak ini juga diikuti oleh Nisha, seorang anak jalanan yang ditemui Anand di jalanan Kota Kolkatta. Seperti yang telah dikatakan Abhaydyatta sebelumnya, perjalanan tersebut tidak akan berjalan mudah karena Sarabhanu pasti menghalangi langkah mereka. Berbagai macam rintangan dan halangan pun telah menunggu mereka sebelum akhirnya dapat masuk ke Lembah Perak.

     Novel ini punya cover yang sangat menarik, dengan warna dasar merah, tulisan emas dan beberapa ilustrasi.  Lebih menarik lagi karena saya menemukannya di tumpukan "Serba 10rb" di sebuah toko buku. Dan tentu saja saya tidak menyesal untuk pecahan rupiah 10.000 yang sudah saya keluarkan karena buku ini baguus, terlepas dari pendapat beberapa  orang di Goodreads yang menyatakan bahwa inti cerita Keong Ajaib ini terlalu mirip dengan ide trilogi  Lord of The Rings. Well, I can say nothing since I haven't read or watch that popular hobbit story. Walaupun alur cerita sempat terasa agak lambat di tengah cerita, tapi saya sukak sekali dengan bagian akhir cerita, saat Anand harus memilih  untuk kembali ke keluarganya atau tetap tinggal di Lembah Perak. Hanya saja, dari awal sampai akhir, saya selalu tidak  berhasil mengimajinasikan setting cerita karena minimnya detail yang disampaikan. Gubuk Anand yang  reot di Kolkatta, penginapan di Koila Ganj, gua di Ranipur, ataupun keindahan Lembah Perak dan Gunung Himalaya tidak  digambarkan dengan cukup baik. Namun yang terpenting, Keong Ajaib membuat saya tidak sabar untuk membaca novel-novel India lainnya.

Sunday 11 March 2012

Being "...something"


Judul : Turning Thirty (Beranjak Tiga Puluh)
Pengarang : Mike Gayle
Penenerbit : Gramedia
Tahun : 2011


Judulnya saja galau, isinya lebih lebih lagi. Tapi yang menarik, buku ini mematahkan asusmsi saya bahwa galau adalah sifat yang feminin. Yes, tokoh utama Turning Thirty adalah seorang lelaki tulen, and he's also galau a lot.

Matt Beckford, 29 tahun, seorang lelaki asal Inggris, dari keluarga baik-baik, memiliki pekerjaan impian di New York, sudah sejak lama menanti ulang tahunnya yang ke-30. Lebih dari itu, Matt juga punya seorang kekasih yang sangat menarik, gadis Amerika berusia 20 tahun bernama Elaine Thomas. Hidup Matt lebih dari sempurna, sampai suatu hari..... Elaine selingkuh? Elaine meninggal tertabrak kereta? Elaine ternyata sudah punya anak dari lelaki lain? Bukan, saudara-saudara. Ini bukan novel roman.
Kenyataannya adalah Matt setuju untuk putus dengan Elaine karena sudah tidak saling mencintai (lagi). Anehnya, prosesi 'putus' mereka tidak disertai deraian air mata dan ucapan perpisahan yang tragis. Mereka justru tertawa terbahak-bahak.
Matt memutuskan untuk pergi dari New York dan mengambil tawaran pekerjaan di Australia. Sayangnya, pekerjaan itu baruakan dimulai dalam 3 bulan. Matt tidak punya pilihan selain kembali ke Inggris. Dan disinilah fase galau dimulai.

Apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki yang hampir 30 tahun, tidak bekerja (selama 3 bulan), dan (masih) tinggal di rumah orang tuanya?
Ini sungguh jauh dari yang dibayangkan Matt tentang usia 30. Usia yang matang, tidak lagi memikirkan soal pasangan hidup (baca=sudah punya kekasih tetap), pekerjaan yang baik, dan tentunya hidup secara madiri. Tentu saja yang membuat Matt sangat galau adalah saat ini, 81 hari menjelang ulang tahunnya yg ke-30, dia tidak memenuhi satu kriteria pun. Ditambah dengan sikap kedua orang tuanya yang berpura-pura 'terganggu' (agar anak lelaki mereka merasa tidak betah di rumah dan segera pergi untuk menjadi lelaki sejati yang mandiri). Di kampung halamannya ini, Matt juga kembali bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya, juga Ginnie, ttm yang sudah lama tidak ditemuinya. Kepulangannya ke Inggris kali ini benar-benar membuat Matt galau to the fullest, sekaligus belajar banyak hal dari hidup yang tidak selalu berjalan sesuai kehendak manusia yang menjalaninya.

Sebenarnya basi, tapi hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, bukan? Buku ini juga menyadarkan saya bahwa not only the twentysomething phase that would make me galau a lot, but also thirtysomething, fourtysomething dan something-something seterusnya.
Kesimpulannya, galau belum akan pergi dari hidup kita saudara-saudari yang budiman.
Syuper sekali, bukan?

Walaupun Turning Thirty bukan jenis cerita favorit saya, tapi buku ini cukup menghibur, apalagi saat sedang galau menunggu tempe goreng dan cah bayam yang tidak kunjung datang (pada sebuah senja di warung Pak Bayam).
Happy reading! :D

PS: Thanks to mbak Rise, 'the girl next door', for letting me read another galau book from your galau bookshelf :p

Wednesday 29 September 2010

Merdeka (?)


Judul : A Small Place (Sebuah Narasi Poskolonial)

Pengarang : Jamaica Kincaid

Penerbit : Lafdl

Tebal : 90 Halaman

Menjadi bagian dari negara bekas jajahan memang bukan takdir yang mudah dijalani, terlebih saat negara tersebut tidak mampu melepaskan gaya hidup warisan pemerintah kolonial. Para pejabat yang sok ‘kolonis’ dan korup, hingga rakyat yang tidak mampu mandiri karena terbiasa diperintah dan ditekan. Mungkin menjadi bagian dari golongan pejabat terlihat nyaman, tapi bagaimana jika kita ditakdirkan (hanya) untuk menjadi rakyat biasa di negeri poskolonial?

Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari penyakit menyerangmu? Karena tidak punya banyak uang, maka kamu akan pergi ke rumah sakit pemerintah, atau jika sedikit beruntung kamu dapat pergi ke rumah sakit ber-label internasional. Berbeda dengan menteri kesehatan dan para pejabat lain yang sanggup membeli tiket untuk berobat ke luar negeri. Bayangkan! Bahkan para pemimpin negerimu pun tahu bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia bagi kamu (rakyat biasa) adalah tidak layak. Dan mereka meninggalkanmu sendiri dengan ketidaklayakan itu.

Rasa sakit hati atas ketidak-adilan tersebutlah yang menjadi inti cerita A Small Place. Membaca buku ini akan membuatmu seolah sedang membaca buku harian sendiri. Membayangkan sebuah negeri yang indah dan elok dan sangat menyenangkan bagi para turis, namun tidak bagi rakyatnya sendiri. Antigua, sebuah negara yang menjadi salah satu tempat jujukan favorit para turis dari barat.

Walaupun bercerita tentang negeri yang cukup jauh (dari Indonesia), namun narasi Jamaica Kincaid dan ketajaman kritiknya membuat saya malu sendiri. Bagaimana tidak, untuk mengkritik pun saya tidak pernah terpikir. Artinya, saya tidak cukup peduli dengan ketidakadilan yang terjadi di sekitar, bahkan yang terjadi pada diri sendiri.

Dalam buku ini, para pejabat negeri bukan satu-satunya tokoh antagonis, masih ada para negara kolonial alias penjajah yang kejahatannya Mahadahsyat. Mereka (penjajah) tidak hanya mengeruk sumber-sumber kekayaan alam, tapi juga dengan tega merusak kehidupan suatu bangsa hingga beberapa generasi setelah kemerdekaan. Lihat saja berapa jumlah penduduk asli yang mampu membangun usaha sendiri dibanding dengan yang menjadi buruh. Semua karena penjajah telah membiasakan para pendahulu kita untuk ber-mental tempe. Tidak bermaksud menyalahkan, tapi memang demikianlah kenyataan. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia bukan?

Jamaica juga bertutur bahwa para penjajah tersebut sangat mencintai negerinya, sehingga ke mana pun mereka pergi, mereka akan menjadikannya seperti rumah mereka sendiri. Lihat apa yang terjadi di Bali, dengan semua kafe, bar, butik, galeri dan hotel, tidak salah jika banyak orang (dari barat) yang masih beranggapan bahwa Bali adalah wilayah tersendiri, bukan bagian dari Indonesia. Lalu, apakah ini yang dapat kita sebut kemerdekaan? Yang menjadi hak segala bangsa?

Buku ini memang tampak serius dan kurang menarik, tapi jangan khawatir, kamu akan tertawa saat membacanya, menyadari betapa banyak hal yang luput dari perhatian kita.

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.

Sunday 27 June 2010

Konsepnya Datang Juga!

Okay. Saya masih anak bawang dalam urusan per-blogging-an. Saya tidak tahu banyak soal ganti-ganti lay-out dan template (that's why I chose this plain background). Saya baru pernah sekali nge-post tulisan. Saya tidak tahu blog ini mau dijadikan apa. Bahkan saya belum tahu tujuan saya membuat akun blog ini. Bisa jadi saya cuma ikut-ikutan temen yang lagi keranjingan blogging. Atau bisa juga jadi alternatif tempat mempertahankan eksistensi. Atau alternatif lain yang masuk akal, mahasiswa komunikasi masa ga punya blog? ga 9430L beet s!ch?

Tapi malam ini, saya menemukan jati diri blog ini. Saya harap ini tidak cuma sementara, tapi bisa terus berkelanjutan. Konsepnya sederhana kok, books reviews.

Saya bukan seorang yang rajin membaca, apalagi kutu buku. Dari dulu saya tidak pernah rela menyisihkan uang untuk membeli sebuah buku. Kalau masih bisa pinjam, kenapa harus beli? Tapi di umur yang sudah bukan abg ini saya sadar bahwa ke-asing-an saya dengan buku sudah membuat saya tertinggal beberapa langkah dari teman-teman lain yang lebih lengket sama buku.

Melalui project books reviews ini, saya tertantang untuk bersahabat dengan buku. Semoga bisa ya.

Tapi saya harus kasih tahu dulu beberapa hal. I didn't create this blog to impress you guys or to attrack you to follow this blog. No. So, please don't send me a message to follow you (just like what people on twitter asked me. FYI, it's so annoying guys).

Okay. What book that will be the lucky #1? Mari menunggu. Karena saya belum tahu buku yang sedang nongkrong manis di samping bantal ini akan selesai saya baca dalam berapa hari.

Note:
Haha!
Jujur, saya agak kaget waktu tahu blog tidak berpenghuni ini sudah punya follower. Terimakasih mas Angga!
Sebenarnya saya juga kurang tahu alasannya jadi follower blog ini. Tapi ya ga papa-lah ya, biar rame.

Monday 28 January 2013

1st Indian Novel I've Ever Read




Judul     : The Conch Bearer (Keong Ajaib)
Penulis  : Chitra Banerjee Divakaruni
Tebal    : 272 halaman


    Hidup terasa sangat berat bagi Anand, seorang anak laki-laki yang tinggal di Kolkatta, India. Ayahnya berhenti mengirim kabar dan uang dari luar negeri, ibunya kehabisan uang dan jatuh miskin, bahkan adik perempuannya, Meera, mengalami nasib sial yang membuatnya kehilangan akal. Namun di tengah nasib buruk yang menimpa, Anand tetap memiliki hati yang baik. inilah yang  membuat Abadhyatta datang dan meminta bantuan Anand untuk mengembalikan Keong Ajaib ke tempat asalnya. Abhaydatta adalah anggota kumpulan penyembuh bernama Persaudaraan yang tinggal di Lembah Perak di kaki Gunung Himalaya. sedangkan Keong Ajaib adalah benda keramat milik Persaudaraan yang sempat dicuri oleh Surabhanu, mantan anggota Persaudaraan yang berkhianat.

     Walaupun berat harus meninggalkan ibu dan Meera, akhirnya Anand memutuskan untuk pergi bersama Abhaydatta dan Keong Ajaib. Petualangan menuju Lembah Perak ini juga diikuti oleh Nisha, seorang anak jalanan yang ditemui Anand di jalanan Kota Kolkatta. Seperti yang telah dikatakan Abhaydyatta sebelumnya, perjalanan tersebut tidak akan berjalan mudah karena Sarabhanu pasti menghalangi langkah mereka. Berbagai macam rintangan dan halangan pun telah menunggu mereka sebelum akhirnya dapat masuk ke Lembah Perak.

     Novel ini punya cover yang sangat menarik, dengan warna dasar merah, tulisan emas dan beberapa ilustrasi.  Lebih menarik lagi karena saya menemukannya di tumpukan "Serba 10rb" di sebuah toko buku. Dan tentu saja saya tidak menyesal untuk pecahan rupiah 10.000 yang sudah saya keluarkan karena buku ini baguus, terlepas dari pendapat beberapa  orang di Goodreads yang menyatakan bahwa inti cerita Keong Ajaib ini terlalu mirip dengan ide trilogi  Lord of The Rings. Well, I can say nothing since I haven't read or watch that popular hobbit story. Walaupun alur cerita sempat terasa agak lambat di tengah cerita, tapi saya sukak sekali dengan bagian akhir cerita, saat Anand harus memilih  untuk kembali ke keluarganya atau tetap tinggal di Lembah Perak. Hanya saja, dari awal sampai akhir, saya selalu tidak  berhasil mengimajinasikan setting cerita karena minimnya detail yang disampaikan. Gubuk Anand yang  reot di Kolkatta, penginapan di Koila Ganj, gua di Ranipur, ataupun keindahan Lembah Perak dan Gunung Himalaya tidak  digambarkan dengan cukup baik. Namun yang terpenting, Keong Ajaib membuat saya tidak sabar untuk membaca novel-novel India lainnya.

Sunday 11 March 2012

Being "...something"


Judul : Turning Thirty (Beranjak Tiga Puluh)
Pengarang : Mike Gayle
Penenerbit : Gramedia
Tahun : 2011


Judulnya saja galau, isinya lebih lebih lagi. Tapi yang menarik, buku ini mematahkan asusmsi saya bahwa galau adalah sifat yang feminin. Yes, tokoh utama Turning Thirty adalah seorang lelaki tulen, and he's also galau a lot.

Matt Beckford, 29 tahun, seorang lelaki asal Inggris, dari keluarga baik-baik, memiliki pekerjaan impian di New York, sudah sejak lama menanti ulang tahunnya yang ke-30. Lebih dari itu, Matt juga punya seorang kekasih yang sangat menarik, gadis Amerika berusia 20 tahun bernama Elaine Thomas. Hidup Matt lebih dari sempurna, sampai suatu hari..... Elaine selingkuh? Elaine meninggal tertabrak kereta? Elaine ternyata sudah punya anak dari lelaki lain? Bukan, saudara-saudara. Ini bukan novel roman.
Kenyataannya adalah Matt setuju untuk putus dengan Elaine karena sudah tidak saling mencintai (lagi). Anehnya, prosesi 'putus' mereka tidak disertai deraian air mata dan ucapan perpisahan yang tragis. Mereka justru tertawa terbahak-bahak.
Matt memutuskan untuk pergi dari New York dan mengambil tawaran pekerjaan di Australia. Sayangnya, pekerjaan itu baruakan dimulai dalam 3 bulan. Matt tidak punya pilihan selain kembali ke Inggris. Dan disinilah fase galau dimulai.

Apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki yang hampir 30 tahun, tidak bekerja (selama 3 bulan), dan (masih) tinggal di rumah orang tuanya?
Ini sungguh jauh dari yang dibayangkan Matt tentang usia 30. Usia yang matang, tidak lagi memikirkan soal pasangan hidup (baca=sudah punya kekasih tetap), pekerjaan yang baik, dan tentunya hidup secara madiri. Tentu saja yang membuat Matt sangat galau adalah saat ini, 81 hari menjelang ulang tahunnya yg ke-30, dia tidak memenuhi satu kriteria pun. Ditambah dengan sikap kedua orang tuanya yang berpura-pura 'terganggu' (agar anak lelaki mereka merasa tidak betah di rumah dan segera pergi untuk menjadi lelaki sejati yang mandiri). Di kampung halamannya ini, Matt juga kembali bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya, juga Ginnie, ttm yang sudah lama tidak ditemuinya. Kepulangannya ke Inggris kali ini benar-benar membuat Matt galau to the fullest, sekaligus belajar banyak hal dari hidup yang tidak selalu berjalan sesuai kehendak manusia yang menjalaninya.

Sebenarnya basi, tapi hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, bukan? Buku ini juga menyadarkan saya bahwa not only the twentysomething phase that would make me galau a lot, but also thirtysomething, fourtysomething dan something-something seterusnya.
Kesimpulannya, galau belum akan pergi dari hidup kita saudara-saudari yang budiman.
Syuper sekali, bukan?

Walaupun Turning Thirty bukan jenis cerita favorit saya, tapi buku ini cukup menghibur, apalagi saat sedang galau menunggu tempe goreng dan cah bayam yang tidak kunjung datang (pada sebuah senja di warung Pak Bayam).
Happy reading! :D

PS: Thanks to mbak Rise, 'the girl next door', for letting me read another galau book from your galau bookshelf :p

Wednesday 29 September 2010

Merdeka (?)


Judul : A Small Place (Sebuah Narasi Poskolonial)

Pengarang : Jamaica Kincaid

Penerbit : Lafdl

Tebal : 90 Halaman

Menjadi bagian dari negara bekas jajahan memang bukan takdir yang mudah dijalani, terlebih saat negara tersebut tidak mampu melepaskan gaya hidup warisan pemerintah kolonial. Para pejabat yang sok ‘kolonis’ dan korup, hingga rakyat yang tidak mampu mandiri karena terbiasa diperintah dan ditekan. Mungkin menjadi bagian dari golongan pejabat terlihat nyaman, tapi bagaimana jika kita ditakdirkan (hanya) untuk menjadi rakyat biasa di negeri poskolonial?

Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari penyakit menyerangmu? Karena tidak punya banyak uang, maka kamu akan pergi ke rumah sakit pemerintah, atau jika sedikit beruntung kamu dapat pergi ke rumah sakit ber-label internasional. Berbeda dengan menteri kesehatan dan para pejabat lain yang sanggup membeli tiket untuk berobat ke luar negeri. Bayangkan! Bahkan para pemimpin negerimu pun tahu bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia bagi kamu (rakyat biasa) adalah tidak layak. Dan mereka meninggalkanmu sendiri dengan ketidaklayakan itu.

Rasa sakit hati atas ketidak-adilan tersebutlah yang menjadi inti cerita A Small Place. Membaca buku ini akan membuatmu seolah sedang membaca buku harian sendiri. Membayangkan sebuah negeri yang indah dan elok dan sangat menyenangkan bagi para turis, namun tidak bagi rakyatnya sendiri. Antigua, sebuah negara yang menjadi salah satu tempat jujukan favorit para turis dari barat.

Walaupun bercerita tentang negeri yang cukup jauh (dari Indonesia), namun narasi Jamaica Kincaid dan ketajaman kritiknya membuat saya malu sendiri. Bagaimana tidak, untuk mengkritik pun saya tidak pernah terpikir. Artinya, saya tidak cukup peduli dengan ketidakadilan yang terjadi di sekitar, bahkan yang terjadi pada diri sendiri.

Dalam buku ini, para pejabat negeri bukan satu-satunya tokoh antagonis, masih ada para negara kolonial alias penjajah yang kejahatannya Mahadahsyat. Mereka (penjajah) tidak hanya mengeruk sumber-sumber kekayaan alam, tapi juga dengan tega merusak kehidupan suatu bangsa hingga beberapa generasi setelah kemerdekaan. Lihat saja berapa jumlah penduduk asli yang mampu membangun usaha sendiri dibanding dengan yang menjadi buruh. Semua karena penjajah telah membiasakan para pendahulu kita untuk ber-mental tempe. Tidak bermaksud menyalahkan, tapi memang demikianlah kenyataan. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia bukan?

Jamaica juga bertutur bahwa para penjajah tersebut sangat mencintai negerinya, sehingga ke mana pun mereka pergi, mereka akan menjadikannya seperti rumah mereka sendiri. Lihat apa yang terjadi di Bali, dengan semua kafe, bar, butik, galeri dan hotel, tidak salah jika banyak orang (dari barat) yang masih beranggapan bahwa Bali adalah wilayah tersendiri, bukan bagian dari Indonesia. Lalu, apakah ini yang dapat kita sebut kemerdekaan? Yang menjadi hak segala bangsa?

Buku ini memang tampak serius dan kurang menarik, tapi jangan khawatir, kamu akan tertawa saat membacanya, menyadari betapa banyak hal yang luput dari perhatian kita.

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.

Sunday 27 June 2010

Konsepnya Datang Juga!

Okay. Saya masih anak bawang dalam urusan per-blogging-an. Saya tidak tahu banyak soal ganti-ganti lay-out dan template (that's why I chose this plain background). Saya baru pernah sekali nge-post tulisan. Saya tidak tahu blog ini mau dijadikan apa. Bahkan saya belum tahu tujuan saya membuat akun blog ini. Bisa jadi saya cuma ikut-ikutan temen yang lagi keranjingan blogging. Atau bisa juga jadi alternatif tempat mempertahankan eksistensi. Atau alternatif lain yang masuk akal, mahasiswa komunikasi masa ga punya blog? ga 9430L beet s!ch?

Tapi malam ini, saya menemukan jati diri blog ini. Saya harap ini tidak cuma sementara, tapi bisa terus berkelanjutan. Konsepnya sederhana kok, books reviews.

Saya bukan seorang yang rajin membaca, apalagi kutu buku. Dari dulu saya tidak pernah rela menyisihkan uang untuk membeli sebuah buku. Kalau masih bisa pinjam, kenapa harus beli? Tapi di umur yang sudah bukan abg ini saya sadar bahwa ke-asing-an saya dengan buku sudah membuat saya tertinggal beberapa langkah dari teman-teman lain yang lebih lengket sama buku.

Melalui project books reviews ini, saya tertantang untuk bersahabat dengan buku. Semoga bisa ya.

Tapi saya harus kasih tahu dulu beberapa hal. I didn't create this blog to impress you guys or to attrack you to follow this blog. No. So, please don't send me a message to follow you (just like what people on twitter asked me. FYI, it's so annoying guys).

Okay. What book that will be the lucky #1? Mari menunggu. Karena saya belum tahu buku yang sedang nongkrong manis di samping bantal ini akan selesai saya baca dalam berapa hari.

Note:
Haha!
Jujur, saya agak kaget waktu tahu blog tidak berpenghuni ini sudah punya follower. Terimakasih mas Angga!
Sebenarnya saya juga kurang tahu alasannya jadi follower blog ini. Tapi ya ga papa-lah ya, biar rame.