Pages

Wednesday 29 September 2010

Merdeka (?)


Judul : A Small Place (Sebuah Narasi Poskolonial)

Pengarang : Jamaica Kincaid

Penerbit : Lafdl

Tebal : 90 Halaman

Menjadi bagian dari negara bekas jajahan memang bukan takdir yang mudah dijalani, terlebih saat negara tersebut tidak mampu melepaskan gaya hidup warisan pemerintah kolonial. Para pejabat yang sok ‘kolonis’ dan korup, hingga rakyat yang tidak mampu mandiri karena terbiasa diperintah dan ditekan. Mungkin menjadi bagian dari golongan pejabat terlihat nyaman, tapi bagaimana jika kita ditakdirkan (hanya) untuk menjadi rakyat biasa di negeri poskolonial?

Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari penyakit menyerangmu? Karena tidak punya banyak uang, maka kamu akan pergi ke rumah sakit pemerintah, atau jika sedikit beruntung kamu dapat pergi ke rumah sakit ber-label internasional. Berbeda dengan menteri kesehatan dan para pejabat lain yang sanggup membeli tiket untuk berobat ke luar negeri. Bayangkan! Bahkan para pemimpin negerimu pun tahu bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia bagi kamu (rakyat biasa) adalah tidak layak. Dan mereka meninggalkanmu sendiri dengan ketidaklayakan itu.

Rasa sakit hati atas ketidak-adilan tersebutlah yang menjadi inti cerita A Small Place. Membaca buku ini akan membuatmu seolah sedang membaca buku harian sendiri. Membayangkan sebuah negeri yang indah dan elok dan sangat menyenangkan bagi para turis, namun tidak bagi rakyatnya sendiri. Antigua, sebuah negara yang menjadi salah satu tempat jujukan favorit para turis dari barat.

Walaupun bercerita tentang negeri yang cukup jauh (dari Indonesia), namun narasi Jamaica Kincaid dan ketajaman kritiknya membuat saya malu sendiri. Bagaimana tidak, untuk mengkritik pun saya tidak pernah terpikir. Artinya, saya tidak cukup peduli dengan ketidakadilan yang terjadi di sekitar, bahkan yang terjadi pada diri sendiri.

Dalam buku ini, para pejabat negeri bukan satu-satunya tokoh antagonis, masih ada para negara kolonial alias penjajah yang kejahatannya Mahadahsyat. Mereka (penjajah) tidak hanya mengeruk sumber-sumber kekayaan alam, tapi juga dengan tega merusak kehidupan suatu bangsa hingga beberapa generasi setelah kemerdekaan. Lihat saja berapa jumlah penduduk asli yang mampu membangun usaha sendiri dibanding dengan yang menjadi buruh. Semua karena penjajah telah membiasakan para pendahulu kita untuk ber-mental tempe. Tidak bermaksud menyalahkan, tapi memang demikianlah kenyataan. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia bukan?

Jamaica juga bertutur bahwa para penjajah tersebut sangat mencintai negerinya, sehingga ke mana pun mereka pergi, mereka akan menjadikannya seperti rumah mereka sendiri. Lihat apa yang terjadi di Bali, dengan semua kafe, bar, butik, galeri dan hotel, tidak salah jika banyak orang (dari barat) yang masih beranggapan bahwa Bali adalah wilayah tersendiri, bukan bagian dari Indonesia. Lalu, apakah ini yang dapat kita sebut kemerdekaan? Yang menjadi hak segala bangsa?

Buku ini memang tampak serius dan kurang menarik, tapi jangan khawatir, kamu akan tertawa saat membacanya, menyadari betapa banyak hal yang luput dari perhatian kita.

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.

Sunday 27 June 2010

Konsepnya Datang Juga!

Okay. Saya masih anak bawang dalam urusan per-blogging-an. Saya tidak tahu banyak soal ganti-ganti lay-out dan template (that's why I chose this plain background). Saya baru pernah sekali nge-post tulisan. Saya tidak tahu blog ini mau dijadikan apa. Bahkan saya belum tahu tujuan saya membuat akun blog ini. Bisa jadi saya cuma ikut-ikutan temen yang lagi keranjingan blogging. Atau bisa juga jadi alternatif tempat mempertahankan eksistensi. Atau alternatif lain yang masuk akal, mahasiswa komunikasi masa ga punya blog? ga 9430L beet s!ch?

Tapi malam ini, saya menemukan jati diri blog ini. Saya harap ini tidak cuma sementara, tapi bisa terus berkelanjutan. Konsepnya sederhana kok, books reviews.

Saya bukan seorang yang rajin membaca, apalagi kutu buku. Dari dulu saya tidak pernah rela menyisihkan uang untuk membeli sebuah buku. Kalau masih bisa pinjam, kenapa harus beli? Tapi di umur yang sudah bukan abg ini saya sadar bahwa ke-asing-an saya dengan buku sudah membuat saya tertinggal beberapa langkah dari teman-teman lain yang lebih lengket sama buku.

Melalui project books reviews ini, saya tertantang untuk bersahabat dengan buku. Semoga bisa ya.

Tapi saya harus kasih tahu dulu beberapa hal. I didn't create this blog to impress you guys or to attrack you to follow this blog. No. So, please don't send me a message to follow you (just like what people on twitter asked me. FYI, it's so annoying guys).

Okay. What book that will be the lucky #1? Mari menunggu. Karena saya belum tahu buku yang sedang nongkrong manis di samping bantal ini akan selesai saya baca dalam berapa hari.

Note:
Haha!
Jujur, saya agak kaget waktu tahu blog tidak berpenghuni ini sudah punya follower. Terimakasih mas Angga!
Sebenarnya saya juga kurang tahu alasannya jadi follower blog ini. Tapi ya ga papa-lah ya, biar rame.

Wednesday 29 September 2010

Merdeka (?)


Judul : A Small Place (Sebuah Narasi Poskolonial)

Pengarang : Jamaica Kincaid

Penerbit : Lafdl

Tebal : 90 Halaman

Menjadi bagian dari negara bekas jajahan memang bukan takdir yang mudah dijalani, terlebih saat negara tersebut tidak mampu melepaskan gaya hidup warisan pemerintah kolonial. Para pejabat yang sok ‘kolonis’ dan korup, hingga rakyat yang tidak mampu mandiri karena terbiasa diperintah dan ditekan. Mungkin menjadi bagian dari golongan pejabat terlihat nyaman, tapi bagaimana jika kita ditakdirkan (hanya) untuk menjadi rakyat biasa di negeri poskolonial?

Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari penyakit menyerangmu? Karena tidak punya banyak uang, maka kamu akan pergi ke rumah sakit pemerintah, atau jika sedikit beruntung kamu dapat pergi ke rumah sakit ber-label internasional. Berbeda dengan menteri kesehatan dan para pejabat lain yang sanggup membeli tiket untuk berobat ke luar negeri. Bayangkan! Bahkan para pemimpin negerimu pun tahu bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia bagi kamu (rakyat biasa) adalah tidak layak. Dan mereka meninggalkanmu sendiri dengan ketidaklayakan itu.

Rasa sakit hati atas ketidak-adilan tersebutlah yang menjadi inti cerita A Small Place. Membaca buku ini akan membuatmu seolah sedang membaca buku harian sendiri. Membayangkan sebuah negeri yang indah dan elok dan sangat menyenangkan bagi para turis, namun tidak bagi rakyatnya sendiri. Antigua, sebuah negara yang menjadi salah satu tempat jujukan favorit para turis dari barat.

Walaupun bercerita tentang negeri yang cukup jauh (dari Indonesia), namun narasi Jamaica Kincaid dan ketajaman kritiknya membuat saya malu sendiri. Bagaimana tidak, untuk mengkritik pun saya tidak pernah terpikir. Artinya, saya tidak cukup peduli dengan ketidakadilan yang terjadi di sekitar, bahkan yang terjadi pada diri sendiri.

Dalam buku ini, para pejabat negeri bukan satu-satunya tokoh antagonis, masih ada para negara kolonial alias penjajah yang kejahatannya Mahadahsyat. Mereka (penjajah) tidak hanya mengeruk sumber-sumber kekayaan alam, tapi juga dengan tega merusak kehidupan suatu bangsa hingga beberapa generasi setelah kemerdekaan. Lihat saja berapa jumlah penduduk asli yang mampu membangun usaha sendiri dibanding dengan yang menjadi buruh. Semua karena penjajah telah membiasakan para pendahulu kita untuk ber-mental tempe. Tidak bermaksud menyalahkan, tapi memang demikianlah kenyataan. Hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia bukan?

Jamaica juga bertutur bahwa para penjajah tersebut sangat mencintai negerinya, sehingga ke mana pun mereka pergi, mereka akan menjadikannya seperti rumah mereka sendiri. Lihat apa yang terjadi di Bali, dengan semua kafe, bar, butik, galeri dan hotel, tidak salah jika banyak orang (dari barat) yang masih beranggapan bahwa Bali adalah wilayah tersendiri, bukan bagian dari Indonesia. Lalu, apakah ini yang dapat kita sebut kemerdekaan? Yang menjadi hak segala bangsa?

Buku ini memang tampak serius dan kurang menarik, tapi jangan khawatir, kamu akan tertawa saat membacanya, menyadari betapa banyak hal yang luput dari perhatian kita.

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.

Sunday 27 June 2010

Konsepnya Datang Juga!

Okay. Saya masih anak bawang dalam urusan per-blogging-an. Saya tidak tahu banyak soal ganti-ganti lay-out dan template (that's why I chose this plain background). Saya baru pernah sekali nge-post tulisan. Saya tidak tahu blog ini mau dijadikan apa. Bahkan saya belum tahu tujuan saya membuat akun blog ini. Bisa jadi saya cuma ikut-ikutan temen yang lagi keranjingan blogging. Atau bisa juga jadi alternatif tempat mempertahankan eksistensi. Atau alternatif lain yang masuk akal, mahasiswa komunikasi masa ga punya blog? ga 9430L beet s!ch?

Tapi malam ini, saya menemukan jati diri blog ini. Saya harap ini tidak cuma sementara, tapi bisa terus berkelanjutan. Konsepnya sederhana kok, books reviews.

Saya bukan seorang yang rajin membaca, apalagi kutu buku. Dari dulu saya tidak pernah rela menyisihkan uang untuk membeli sebuah buku. Kalau masih bisa pinjam, kenapa harus beli? Tapi di umur yang sudah bukan abg ini saya sadar bahwa ke-asing-an saya dengan buku sudah membuat saya tertinggal beberapa langkah dari teman-teman lain yang lebih lengket sama buku.

Melalui project books reviews ini, saya tertantang untuk bersahabat dengan buku. Semoga bisa ya.

Tapi saya harus kasih tahu dulu beberapa hal. I didn't create this blog to impress you guys or to attrack you to follow this blog. No. So, please don't send me a message to follow you (just like what people on twitter asked me. FYI, it's so annoying guys).

Okay. What book that will be the lucky #1? Mari menunggu. Karena saya belum tahu buku yang sedang nongkrong manis di samping bantal ini akan selesai saya baca dalam berapa hari.

Note:
Haha!
Jujur, saya agak kaget waktu tahu blog tidak berpenghuni ini sudah punya follower. Terimakasih mas Angga!
Sebenarnya saya juga kurang tahu alasannya jadi follower blog ini. Tapi ya ga papa-lah ya, biar rame.