Pages

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.

Saturday 28 August 2010

Attraversiamo!*


“Look for God like a man with his head on fire looks for water”-Elizabeth Gilbert


Perhatian! Eat, Pray, Love tidak menawarkan topik yang ringan dan nge-pop, bahkan cenderung berat dan sangat personal (maklum, ini bukan novel chiklit, cin). Tapi jangan dulu bosan. Justru buku yang bercerita tentang perjalan mencari Tuhan ini sangat menggoda untuk dibaca dan dinikmati.

Based on true story of her own life, Elizabeth Gilbert bercerita tentang usahanya untuk menekan, melampiaskan, menikmati, dan melepaskan kesedihan yang menyapanya. Di tengah kehidupannya yang seolah sempurna, Liz justru merasa bahwa dirinya tidak normal karena tidak menginginkan “kesempurnaan” hidup tersebut. Dia mendambakan kehidupan lain yang lebih manusiawi. Namun, Liz harus membayar mahal atas keinginannya itu. Pernikahannya berujung pada perceraian, hubungan dengan kekasih barunya pun harus berakhir. Kepahitan hidup inilah yang mengantar Liz menelusuri tiga negara untuk menemukan dan memiliki Tuhan, sang empunya kebahagiaan.

Catatan perjalanan Elizabeth Gilbert ini merangsang pembaca untuk lebih dalam memaknai hidup. “You were given life, it is your duty to find something beautiful within life, no matter how slight,” maka kehidupan tidak lagi akan dipenuhi oleh gerutu dan keluhan. Liz juga mengingatkan bahwa “Your emotion are the slaves of your thoughts, and you’re the slave of your emotions.”

Pesan utama yang disampaikan sang penulis melalui buku ini sebenarnya sangat sederhana, “If faith were rational, it wouldn’t be faith. Faith is believe in what you cannot see or prove or touch.” Tuhan dan keyakinan (faith) merupakan hal yang sangat personal. Eksistensinya sangat bergantung pada pengalaman pribadi dan relasi yang terbentuk dengan “sesuatu” yang kita sebut Tuhan itu sendiri. Namun, tidak ada salahnya jika ingin belajar dari pengalaman orang lain. Mungkin pengalaman tersebut dapat membantu mencari jalan bagi kita sendiri untuk menemukan Tuhan.

Bagian favorit saya dari buku ini adalah, ending-nya! Impressive. Bukan seperti dongeng Sleeping Beauty yang harus menunggu pangeran untuk membangunkannya dari tidur panjang, Liz berhasil menolong dirinya sendiri untuk bangun dari kesedihan.

Intinya, hanya akan membuang-buang waktu jika kamu tidak menemukan sesuatu yang berharga untuk dipelajari dari buku ini.

*Attraversiamo, an Italian word means “Let’s cross over” (Liz’s favorite word)

Note:

Special thanks to my dear Binar for lend me this beautiful book.